14.3.
Utang Luar Negeri
Indonesia sebagai
negara yang sedang membangun, ingin mencoba untuk dapat membangun bangsa dan
negaranya sendiri tanpa memperdulikan bantuan dari negara lain. Tentu ini
pernah dicoba. Namun ternyata Indonesia sulit untuk terus bertahan ditengah
derasnya laju globalisasi yang terus berkembang dengan cepat tanpa mau
menghiraukan bangsa yang lain yang masih membangun. Dalam kondisi seperti ini,
Indonesia akhirnya terpaksa mengikuti arus tersebut, mencoba untuk membuka diri
dengan berhubungan lebih akrab dengan bangsa lain demi menunjang pembangunan
bangsanya terutama dari sendi ekonomi nasionalnya.
Menurut Boediono
(1999:22), pertumbuhan ekonomi merupakan tingkat pertambahan dari pendapatan
nasional. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan sebagai proses
kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan merupakan ukuran
keberhasilan pembangunan. Indonesia sebenarnya pernah memiliki suatu kondisi
perekonomian yang cukup menjanjikan pada awal dekade 1980-an sampai pertengahan
dekade 1990-an. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia,
pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1986 sampai tahun 1989 terus
mengalami peningkatan, yakni masing-masing 5,9% di tahun 1986, kemudian 6,9% di
tahun 1988 dan menjadi 7,5% di tahun 1989. Namun pada tahun 1990 dan 1991
pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat angka yang sama yakni sebesar 7,0%,
kemudian tahun 1992, 1993, 1994, 1995, dan 1996, masing-masing tingkat
pertumbuhan ekonominya adalah sebesar 6,2%, 5,8%, 7,2%, 6,8%, dan 5,8%. Angka
inflasi yang stabil, jumlah pengangguran yang cukup rendah seiring dengan
kondusifnya iklim investasi yang ditandai dengan kesempatan kerja yae 1990-an.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, pertumbuhan ekonomi
Indonesia sejak tahun 1986 sampai tahun 1989 terus mengalami peningkatan, yakni
masing-masing 5,9% di tahun 1986, kemudian 6,9% di tahun 1988 dan menjadi 7,5%
di tahun 1989. Namun pada tahun 1990 dan 1991 pertumbuhan ekonomi Indonesia
mencatat angka yang sama yakni sebesar 7,0%, kemudian tahun 1992, 1993, 1994,
1995, dan 1996, masing-masing tingkat pertumbuhan ekonominya adalah sebesar
6,2%, 5,8%, 7,2%, 6,8%, dan 5,8%. Angka inflasi yang stabil, jumlah
pengangguran yang cukup rendah seiring dengan kondusifnya iklim investasi yang
ditandai dengan kesempatan kerja yang terus meningkat, angka kemiskinan yang
cukup berhasil ditekan, dan sebagainya. Namun, pada satu titik tertentu,
perekonomian Indonesia akhirnya runtuh oleh terjangan krisis ekonomi yang
melanda secara global di seluruh dunia. Ini ditandai dengan tingginya angka
inflasi, nilai kurs Rupiah yang terus melemah, tingginya angka pengangguran
seiring dengan kecilnya kesempatan kerja, dan ditambah lagi dengan semakin membesarnya
jumlah utang luar negeri Indonesia akibat kurs Rupiah yang semakin melemah
karena utang luar negeri Indonesia semuanya dalam bentuk US Dollar.
Adanya kerapuhan
Indonesia tersebut disebabkan dengan tidak adanya dukungan mikro ekonomi yang
kuat. Permasalahan yang masih tidak dapat diselesaikan sampai saat ini adalah
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terlalu tinggi di Indonesia, sumber
daya manusia Indonesia kurang kompetitif, jiwa entrepreneurship yang kurang,
dan sebagainya (Anggito Abimanyu. XXXX:8).
Meningkatnya
pertumbuhan investasi di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang
No.1/tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA) dan Undang-Undang
No.6/tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN). Dengan
diberlakukannya Undang-undang tersebut diharapkan dapat mendorong peningkatan
investasi di Indonesia dari waktu ke waktu yang kemudian menciptakan iklim
investasi yang kondusif selama proses pembangunan di Indonesia.
Arus masuk modal
asing (capital inflows) juga berperan dalam menutup gap devisa yang ditimbulkan
oleh defisit pada transaksi berjalan. Selain itu, masuknya modal asing juga
mampu menggerakkan kegiatan ekonomi yang lesu akibat kurangnya modal (saving
investment gap) bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Modal asing ini selain
sebagai perpindahan modal juga dapat memberikan kontribusi positif melalui
aliran industrialisasi dan modernisasi. Akan tetapi apabila modal asing
tersebut tidak dikalola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif yang besar
terutama apabila terjadinya capital flows reversal (Zulkarnaen Djamin, 1996:
26).
Seperti yang telah
dijelaskan di atas bahwa utang luar negeri turut mendukung terjadinya krisis
ekonomi di Indonesia pada pertengahan tahun XXXX. Pada dasarnya, dalam proses
pelaksanaan pembangunan ekonomi di negara berkembang seperti di Indonesia,
akumulasi utang luar negeri merupakan suatu gejala umum yang wajar. Hal
tersebut disebabkan tabungan dalam negeri yang rendah tidak memungkinkan
dilakukannya investasi yang memadai sehingga banyak pemerintah negara yang
sedang berkembang harus menarik dana dan pinjaman dari luar negeri. Selain itu,
defisit pada neraca perdagangan barang dan jasa yang tinggi berhubungan juga
dengan dilakukannya impor modal untuk menambah sumber daya keuangan dalam
negeri yang terbatas.
Bagi negara
berkembang termasuk Indonesia, pesatnya aliran modal merupakan kesempatan yang
bagus guna memperoleh pembiayaan pembangunan ekonomi. Dimana pembangunan
ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia merupakan suatu usaha
berkelanjutan yang diharapkan dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur
sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga untuk dapat mencapai tujuan itu
maka pembangunan nasional dipusatkan pada pertumbuhan ekonomi. Namun karena
keterbatasan sumber daya yang dimiliki (tercermin pada tabungan nasional yang
masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana untuk pembangunaan ekonomi sangat
besar. Maka cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi itu adalah dengan berusaha
meningkatkan investasi. Pada pertengahan dekade 1980-an, modal asing yang masuk
ke Indonesia masih didominasi oleh investasi langsung atau penanaman modal
asing (PMA) dan pinjaman luar negeri (terutama pinjaman pemerintah). Baru
setelah pemerintah melakukan deregulasi di sektor keuangan/perbankan yang
dimulai sejak awal 1980-an, yang antara lain membuat sektor tersebut, termasuk
pasar modal, berkembang dengan pesat, arus modal swasta jangka pendek dari luar
negeri mulai mengalir ke dalam negeri. Penanaman Modal Asing (PMA) sendiri,
berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sampai akhir
Juli XXXX meningkat menjadi US$ 3.713.4 juta dengan realisasi proyek yang telah
disetujui pemerintah sebanyak 563 proyek.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai komponen dalam neraca
pembayaran turut mempengaruhi keadaan perekonomian di suatu negara.
Negara-negara yang umumnya merupakan negara yang sedang berkembang masih terus
berusaha untuk menyempurnakan ekonomi internasionalnya (Hady Hamdy, XXXX: 42).
Berdasarkan
hal-hal yang dikemukakan diatas, Penulis mencoba untuk membahas masalah
pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam hubungannya dengan utang luar negeri
(foreign debt) dan penanaman modal asing (PMA) dengan mengangkat judul
“Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri (Foreign Debt) dan Penanaman Modal Asing
(PMA) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
http://makmunr.blogspot.com/2010/12/manfaat-modal-asing-lebih-besar.html